Menangis dan Kelemahan, Stigma Yang Salah Kaprah
- Jumat, 07 Juni 2024
- Post by PKRS
- 711 kali
- SHARE

Noerul Ikmar, S.KM
Ada kalanya kita mengalami suatu keadaan di mana kita merasa sangat sedih sehingga ingin mengekspresikan emosi tersebut. Salah satu contoh ekspresi emosi adalah dengan menangis. Sayangnya, kewajaran menangis masih dipertanyakan dalam kehidupan sehari-hari. Saat sedih yang tidak tertahan, ada kalanya kita ingin menangis, tetapi terpaksa menahan karena stigma yang ada di masyarakat. Hal tersebut karena kita terlalu memikirkan reaksi orang lain melihat kita menangis. Ada ketakutan dianggap cengeng atau berlebihan.
Akibat terlalu memikirkan reaksi atau pendapat orang lain, akan ada kecenderungan menekan perasaan sedih untuk tidak menangis. Hal ini dapat membuat emosi kita semakin berantakan karena tidak teregulasi dengan baik. Ada harapan dengan menyangkal perasaan sedih dan menahan tangis akan menghilangkan perasaan tersebut padahal nyatanya tidak seperti itu.
Banyak yang belum memahami bahwa menangis merupakan reaksi alami manusia untuk regulasi emosi yang mana termasuk kesedihan, kehilangan rasa frustasi atau bahkan tangis kebahagiaan. Menangis masih erat dikaitkan dengan kelemahan dan tanda ketidakberdayaan seseorang. Stigma ini terjadi terutama pada laki-laki. Ada konstruksi gender yang membuat menunjukkan emosi terutama menangis adalah hal yang tabu bagi laki-laki. Laki-laki bahkan dituntut untuk tetap tegar apapun kondisi emosinya baik ketika sedang bersedih ataupun berduka.
Laki-laki dianggap lemah bahkan tidak jantan ketika mengekspresikan emosinya terutama dalam bentuk tangisan. Kondisi tersebut memicu tekanan yang lebih besar untuk laki-laki untuk tidak menangis. Keadaan ini dapat menjadi bibit munculnya toxic masculinity.
Pengaruh dari adanya toxic masculinity terhadap kesehatan mental adalah ketika seseorang merasakan munculnya tekanan batin yang mempengaruhi segala kegiatan keseharian atau mulai disfungsi peran dalam keseharian. Mereka yang telah menerima label lemah atau tidak jantan sering berpikir bahwa apakah dirinya seburuk itu di mata orang lain atau hanya pikirannya saja. Perlakuan seperti ini berujung membuat korban merasa takut dan berusaha menutup diri dari lingkungan sekitar bahkan terjadinya trauma berkepanjangan.
Salah kaprah lainnya tentang menangis adalah anggapan bahwa menangis tidak menyelesaikan masalah. Ada benarnya memang dengan menangis tidak lantas membuat masalah menjadi selesai atau hilang begitu saja. Namun, menangis merupakan salah satu cara untuk merilis rasa sakit secara emosional yang kemudian dapat membuat perasaan menjadi lebih tenang. Hal ini terjadi karena ketika menangis kita melepaskan oksitosin dan opioid endogen atau biasa dikenal dengan endorfin. Zat kimia tersebut dapat membantu perasaan menjadi lebih baik dan mengurangi rasa sakit khususnya rasa sakit emosional.
Menekan emosi sejatinya dapat menimbulkan berbagai masalah. Hal tersebut dapat menyebabkan efek negatif baik untuk mental ataupun fisik yaitu di antaranya:
-
Menurunnya sistem kekebalan tubuh;
-
Penyakit kardiovaskular dan tekanan darah tinggi;
-
Mempengaruhi kondisi kesehatan mental termasuk munculnya kecemasan, stres bahkan depresi.
Yang harus kita pahami bersama adalah sebuah kondisi manusiawi jika seseorang ingin menangis. Jika kita merasa sedih dan ingin menangis, maka sebaiknya segera dirilis perasaan tersebut. Kita dapat meluangkan waktu dan mencari tempat yang nyaman untuk menangis. Namun, bila rasa ingin menangis tidak terkendali dan muncul terus menerus hingga mengganggu aktivitas bahkan tanpa sebab yang jelas maka hal tersebut merupakan alarm untuk segera memeriksakan diri ke tenaga profesional seperti psikolog atau psikiater.
Sumber Gambar:
Referensi:
Siron, Y., Asbi, S. A., Amalia, P. R., & Cahyani, L. Anak Laki-laki Tidak Boleh Menangis?: Bias Gender Pengasuhan Anak Usia Dini. NANAEKE: Indonesian Journal of Early Childhood Education, 6(2), 75-94.