PSIKOSOMATIS

Alek Gugi Gustaman, SKM

A.       Definisi Psikosomatis

          Psikosomatis adalah bentuk macam-macam penyakit fisik yang ditimbulkan oleh konflik psikis  dan  kecemasan-kecemasan  kronis. Psikosomatis  adalah  suatu  gangguan  psikologis yang  dapat  menimbulkan  keluhan-keluhan  fisik.  Psikosomatik  merupakan  gangguan  fisik yang disebabkan faktor kejiwaan dan sosial. Emosi yang menumpuk dan memuncak dapat menimbulkan    goncangan    dalam    diri    seseorang yang    bila    berkepanjangan    dapat menyebabkan   munculnya   perasaan   tertekan,cemas,   kesepian   dan   bosan   yang   dapat mempengaruhi kesehatan fisiknya. Selain itu beberapa penyakit fisik juga dapat diperburuk oleh  faktor  mental  seperti  stress  dan  kecemasan.  Ciri-ciri psikosomatis  ditandai  dengan adanya keluhan fisik yang beragam, antara lain : pegal-pegal, nyeri dibagian tubuh tertentu, muntah,  kembung  dan  perut  tidak  enak,  kulit  gatal,  kesemutan,  sakit  kepala,  nyeri  bagian dada, punggung dan tulang belakang. Selain itu, masalah kejiwaan yang menyertainya yaitu gejala stress, kecemasan dan gejala depresi. Keluhan itu biasanya sering terjadi secaraterus-menerus yang sangat menganggu dan tidak wajar sehingga harus sering periksa ke dokter (Peltzer dan Pengpid, 2018)

B.       Jenis Gangguan Psikosomatis

1.            Gangguan Somatisasi

          Gangguan somatisasi dicirikan dengan gejala-gejala somatik yang banyak yang tidak dapat dijelaskan berdasarkan pemeriksaan fisik maupun laboratorium. Keluhan yang di utarakan pasien sangat melimpah dan meliputi berbagai sistem organ seperti gastrointestinal, seksual, saraf dan bercampur dengan keluhan nyeri. Gangguan ini bersifat kronis, berkaitan dengan stresor psikologis yang bermakna, menimbulkan hendaya di bidang sosial dan okupasi, serta adanya perilaku mencari pertolongan medis yang berlebihan. Dikenal juga sebagai Briquet's syndrome (Gitayanti dan Elvira, 2018).

2.            Gangguan Konversi

          Gangguan konversi adalah gangguan pada fungsi tubuh yang tidak sesuai dengan konsep anatomi dan fisiologi dari sistem saraf pusat dan tepi. Hal ini secara khas terjadi dengan adanya stres dan memunculkan disfungsi berat. Kumpulan gejala yang saat ini disebut dengan gangguan konversi dengan gangguan somatisasi, dikenal dengan sebutan histeria, reaksi konversi atau reaksi disosiatif. Gejala gangguan konversi yang paling sering muncul adalah paralisis, buta, dan mutisme.Gejala depresi dan cemas sering menyertai gejala gangguan konversi, dan pasien-pasien ini berisiko tinggi mengalami bunuh diri (Gitayanti dan Elvira, 2018).

3.            Hipokondriasis

          Hipokondriasis didefinisikan sebagai seseorang yang berpreokupasi dengan ketakutan tau keyakinan menderita penyakit yang serius. Pasien dengan hipokondriasis memiliki interpretasi yang tidak realists maupun akurat terhadap gejala atau sensasi fisik, meskipun tidak ditemukan penyebab medis. Preokupasi pasien menimbulkan penderitaan bagi dirinya dan mengganggu kemampuannya untuk berfungsi secara baik di bidang sosial, interpersonal dan pekerjaan (Gitayanti dan Elvira, 2018).

4.            Body Dismorphic Disorder

          Pasien dengan body dysmorphic disorder mempunyai perasaan subyektif yang pervasif bahwa beberapa aspek. penampilannya buruk padahal penampilannya normal atau nyaris baik. Inti dari gangguan ini bahwa pasien berkeyakinan kuat atau takut kalau dirinya tidak menarik atau bahkan menjijikkan. Ketakutan in sulit diredakan dengan penentraman atau pujian, meskipun penampilan pasien ini sangat normal (Gitayanti dan Elvira, 2018).

5.            Gangguan Nyeri

          Definisi dari gangguan nyeri menurut DSM-IV-TR adalah adanya nyeri yang merupakan keluhan utama dan menjadi fokus perhatian klinis. Faktor psikologis sangat berperan pada gangguan ini. Gejala utama adalah nyeri pada satu tempat atau lebih, yang tidak dapat dimasukkan secara penuh sebagai kondisi medik non psikiatrik maupun neurologik Gangguan ini berkaitan dengan penderitaan emosional dan hendaya dalam fungsi kehidupan (Gitayanti dan Elvira, 2018).

C.       Faktor Penyebab Psikosomatis

          Tidak ada penyebab tunggal untuk gangguan psikosomatis, seperti kebanyakan kondisi kejiwaan, gangguan adalah hasil akhir dari interaksi yang antara faktor genetik dan berbagai peristiwa dalam sejarah kehidupan yang dari individu. Berbagai mekanisme psikologis, sosial, patofisiologis, keluarga, dan genetik telah diusulkan untuk menjelaskan asal gangguan psikosomatis ( Colak, 2014 ). Hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Strecter dalam maramis (2006) Pada 239 penderita dengan gangguan psikogenik Streckter telah menganalisis gejala yang paling sering didapati yaitu 89 persen terlalu memperhatikan gejala-gejala pada badannya dan 45 persen merasa kecemasan, oleh karena itu pada pasien psikosomatis perlu ditanyakan beberapa faktor yaitu:

1. Faktor sosial dan ekonomi

          Kepuasan dalam pekerjaan, kesukaran ekonomi, pekerjaan yang tidak tentu, pekerjaan yang terburu-buru, kualitas pelayanan yang tidak memuaskan, yang dapat mengakibatkan peningkatan hilangnya jam kerja karena ketidakhadiran, kecelakaan di tempat kerja, kurangnya motivasi dengan komitmen.

2. Faktor perkawinan atau keluarga

          Kepuasan dalam pernikahan seperti perselisihan, perceraian dan kekecewaan dalam hubungan seksual, anak-anak yang nakal dan menyusahkan. Kondisi dimana keluarga dapat menimbulkan stres yang dapat membuat tubuh menjadi tertekan serta dapat menyebabkan atau bahkan memperburuk secara langsung kondisi saat sakit.

3. Faktor kesehatan

          Kesehatan juga dapat menjadi faktor penyebab terjadinya gangguan psikosomatis seperti adanya kerusakan akibat dari berbagai macam hal seperti penggunaan obat, benturan, penyakit-penyakit yang menahun, pernah masuk

rumah sakit, pernah dioperasi, adiksi terhadap obat-obatan, tembakau, maupun efek dam ekses dari pembedahan.

4. Faktor psikologis

          Pengaruh psikologis menyebabkan muncul maupun memperparah penyakit-penyakit fisik yang disebabkan oleh stressor, terutama muncul dari sikap maladaptif. Dalam penelitian yang dilakukan oleh Selye, mengemukakan bahwa faktor- faktor psikologis tertentu dalam kepribadian seseorang dapat menyebabkan seorang menjadi jarang sakit, atau jika berada dalam tekanan dia mampu menghadapinya (Wiramihardja, 2015). Stres psikologis seperti keadaan jiwa waktu dioperasi, waktu penyakit berat, status didalam keluarga dan stres yang timbul juga dapat mempengaruhi berkembangnya gangguan psikosomatis maupun memperparah penyakit- penyakit fisik yang dialami oleh pasien.

D.      Proses Terjadinya Psikosomatis

          Patologi somatik dan mental adalah proses komorbiditas dengan mekanisme patofisiologis, neurokimiawi, dan mediator yang memengaruhi fungsi seluruh sistem tubuh seperti sistem endokrin, sistem kekebalan, Aksis Hypothalamic Pituitary Adrenal (HPA) yang terkait dengan depresi. Stressor merupakan stimulus yang mengaktifkan aksis HPA dan sistem saraf simpatik Petrik et al, 2018).

          Aksis HPA adalah koordinator sentral dari sistem respons neuroendokrin terhadap stres, dan fokus perhatian utama pada pasien dengan gangguan psikosomatis. Aktivasi aksis HPA merupakan respon hormonal utama terhadap tantangan homeostatis. Pada stres akut, rangsangan sistem saraf simpatik mengaktifkan sistem noradrenergik di otak dan menyebabkan pelepasan katekolamin dari kelenjar adrenal, termasuk epinefrin, norepinefrin, dan kortisol. Bertindak sebagai neurotransmiter di otak, katekolamin tertentu, seperti norepinefrin, dapat menyebabkan berbagai masalah fisiologis, seperti mengubah kognisi dan proses mental lainnya, menyebabkan konsentrasi yang buruk, perubahan suasana hati, ketegangan, depresi, dan kecemasan. Zat-zat ini merangsang tubuh untuk merespons bahaya segera dengan meningkatkan detak jantung, meningkatkan distribusi oksigen ke otak, melebarkan pembuluh darah otot rangka, dan meningkatkan kadar glukosa darah (hiperglikemia). Hiperglikemia dapat menyebabkan diabetes melitus tipe II dan hipertensi, yang berhubungan dengan peningkatan risiko penyakit kardiovaskular yang mengancam jiwa (Petrik et al, 2018).

          Sistem dopaminergik memengaruhi patogenesis banyak penyakit psikofisiologis. Dopamin hadir di sebagian besar sistem saraf pusat (SSP), dan jalur saraf, seperti subsistem mesolimbik dan mesokortikal, memainkan peran penting dalam pensinyalan dopaminergik. Jalur mesolimbik terlibat dalam pemrosesan dan penguatan rangsangan pengaktif dan dalam motivasi respons perilaku. Dipercayai bahwa sistem ini terlibat dalam stimulasi perilaku yang diarahkan pada tujuan, dan penghambatannya dapat menyebabkan ketidakpedulian emosional dan kurangnya inisiatif. Sistem ini telah terbukti sangat sensitif terhadap stres. Jalur mesokortikal sangat penting untuk fungsi kognitif seperti evaluasi dan perencanaan respons perilaku. Pengaruh pengalaman stres pada fungsi dopamin dalam sistem mesokortikal bisa sangat berbeda atau bahkan berlawanan, tergantung pada pengendalian situasi, latar belakang genetik organisme dan siklus hidupnya (Tatayeva et al, 2022).

          Hormon kortisol yang aktif secara biologis membantu tubuh beradaptasi dengan stres. Perubahan kadar kortisol melalui sumbu HPA menyebabkan perubahan merugikan yang terus-menerus pada sistem limbik. Telah terbukti bahwa gangguan kadar kortisol berhubungan dengan stres dan depresi di masa lalu (16). Jadi, sekresi kortisol yang berlebihan diamati pada sekitar 50% pasien dengan depresi yang baru didiagnosis. Karena stres menyebabkan tingkat kortisol yang lebih tinggi, konsentrasi kortisol tetap tinggi sampai penyebab stres dihilangkan. Terlebih lagi, sekresi kortisol yang berkepanjangan oleh kelenjar adrenal dapat menurunkan fungsi kekebalan tubuh, yang menyebabkan peningkatan risiko penyakit (Tatayeva et al, 2022).

          Serotonin (5-hydroxytryptamine, 5-HT) adalah salah satu mekanisme utama dalam perkembangan stres psikofisiologis, yang meningkatkan risiko aterosklerosis. Keadaan emosi dan stres negatif yang ditransfer adalah salah satu mekanisme pelanggaran fungsi serotonergik aterogenesis. Ada bukti bahwa penurunan kadar triptofan (prekursor serotonin), dan akhirnya serotonin, berperan dalam patogenesis gangguan depresi. Serotonin sangat penting dalam mengatur suasana hati, emosi, dan perilaku. Studi praklinis dan klinis menunjukkan bahwa depresi berhubungan dengan disfungsi serotonergik SSP pada trombosit sirkulasi perifer. Sebagian besar serotonin yang beredar dalam darah terkandung dalam trombosit. 5-HT memiliki sifat vasoaktif dan terlibat dalam pembentukan trombus, aktivasi trombosit, dan hipertensi. Monoamina ini, disekresikan oleh trombosit yang teraktivasi di tempat cedera vaskular, mendorong proliferasi sel otot polos, vasospasme, dan pembentukan trombus (Tatayeva et al, 2022).

E.       Tanda dan Gejala Psikosomatis

          Gangguan Psikosomatik  dapat terjadi pada semua kelompok usia, mulai dari anak-anak hingga orang dewasa. Munculnya keluhan psikosomatik pada seseorang biasanya diawali dari masalah kesehatan mental  yang dialaminya, seperti takut, stres, depresi,  atau cemas.

          Untuk mengenali penderitaan seorang klien/pasien sebagai penderita psikosomatik ataukah tidak, maka perlu memperhatikan beberapa hal, yaitu:

1) Gejala atau simtom dari gangguan psikosomatik yang sering dikeluhkan pasien/klien meliputi:

a) berdebar-debar, tengkuk pegal, tekanan darah tinggi (gejala kardiovaskular);

b) ulu hati perih, kembung, gangguan pencernaan (gejala gastrointestinal);

c) sesak nafas, mengi (gejala respiratorius);

d) gatal, eksim (gejala dermatologi);

e) encok, pegal, kejang, sakit kepala (gejala musculoskeletal);

f) gangguan haid, keringat dingin disertai berdebar-debar (gejala hormonal-endokrin).

          Kalangan medis membagi diagnosis penderita gangguan psikosomatik menjadi tiga golongan, yaitu:

(a)Mereka yang memiliki keluhan fisik, tetapi tidak terdapat penyakit fisik dan kelainan organik yang dapat menyebabkan keluhan tersebut.

(b)Mereka yang memiliki kelainan organik primer dengan penyebab faktor psikologis

(c) Mereka yang memiliki kelainan organik dan gejala lain yang timbul karena faktor psikologis, seperti kecemasan sebagai akibat adanya penyakit organik.

          Mereka yang mengidap penyakit ini memiliki gejala yang dapat bervariasi dari satu orang ke orang yang lain. Gejala bisa berubah-ubah tergantung dari kondisi psikologis seseorang. Berikut ini adalah beberapa gejala yang mungkin muncul pada orang yang mengalami gangguan psikosomatik:

?        sakit perut atau nyeri ulu hati

?        Sakit pinggang

?        Sakit kepala

?        susah tidur

?        Mudah lelah

?        Nyeri otot

?        Sesak napas

?        Nyeri dada

?        Jantung berdebar

?        Gemetaran

?        Telapak tangan berkeringat

          Gangguan psikosomatik juga bisa berupa memburuknya penyakit fisik yang sudah ada akibat pengaruh kondisi psikis, emosi, atau pikiran. Contoh kondisi fisik yang bisa diperparah oleh faktor psikis adalah sakit maag, psoriasis, eksim, tekanan darah tinggi, dan penyakit jantung.

          Orang dengan gangguan psikosomatik cenderung merasa khawatir berlebih meskipun gejala yang dialaminya tergolong ringan. Gejala psikosomatik umumnya muncul ketika penderitanya merasa stres, berada di bawah tekanan, atau saat beban pikiran meningkat.

          Di antara gejala tersebut, ada ciri lain yang bisa dikenali saat seseorang mengidap psikosomatis. Pengidap penyakit ini kerap berganti-ganti dokter sampai ia menemukan dokter yang ia rasa cocok. Sebab ia merasa membutuhkan dokter mau mengerti, dan mendengarkan setiap keluhannya. Pengidap psikosomatis biasanya tidak terima jika dokter mengatakan bahwa dirinya dalam kondisi baik-baik. Akibatnya ia terus mencari dokter lain yang dapat memahami kondisinya.

F.       Penanganan Psikosomatis

          Adapun tipe-tipe terapi yang digunakan bagi para penderita psikosomatis adalah :

a) Psikoterapi Kelompok dan Terapi keluarga

Karena kepentingan psikopatologis dari hubungan ibu-anak dalam perkembangan gangguan psikosomatik, modifikasi hubungan tersebut telah diajukan sebagai kemungkinan focus penekanan dalam psikoterapi untuk gangguan psikosomatik. Toksoz Bryam Karasu menulis bahwa pendekatan kelompok harus juga menawarkan kontak intrapersonal yang lebih besar, memberikan dukungan ego yang lebihh tinggi bagi ego pasien psikosomatis yang lemah dan merasa takut akan ancaman isolasi dan perpisahan parental. Terapi keluarga menawarkan harapan suatu perubahan dalam hubungan ant tara keluarga dan anak. Kedua terapi memiliki hasil klinis awal yang sangat baik (Sarnoto, 2016).

b) Terapi Perilaku

·         Biofeedback

Ini adalah terapi yang menerapkan teknik behavior dan banyak digunakan untuk mngatasi psikosomatik. Terapi yang dikembangkan oleh Nead Miller ini didasari oleh pemikiran bahwa berbagai respon atau reaksi yang dikendalikan oleh sistem syaraf otonam sebenarnya dapat diatur sendiri oleh individu melalui operant conditioning. Biofeedback mempergunakan instrumen sehingga individu dapat mengenali adanya perubahan psikologis dan fisik pada dirinya dan kemudian berusaha untuk mengatur reaksinya. Misalnya seseorang penderita migrain atau sakit kepala. Dengan menggunakan biofeedback, ia bisa berusaha untuk rileks pada saat mendengan singal yang menunjukkan bahwa ada kontraksi otot atau denyutan dikepala. Penerapan teknik ini pada pasien dengan hipertensi, aritmia jantung, epilepsy dan nyeri kepala tegangan telah memberikan hasil terapetik yang membesarkan hati tetapi tidak menyakitkan (Sarnoto, 2016)

·         Teknik Relaksasi

Terapi hipertensi dapat termasuk penggunaan teknik relaksasi. Hasil yang positif telah diterbitkan tentang pengobatan penyalahgunaan alcohol dan zat lain dengan menggunakan meditasi transcendental. Teknik meditasi juga digunakan dalam pengobatan nyeri kepala (Sarnoto, 2016).

  

DAFTAR PUSTAKA

Elvira, Sylvia D., Gitayanti H. 2018. Buku Ajar Psikiatri Edisi ke-3 Cetakan ke-2. Jakarta : Badan Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.

Fitri, Dianing Pra. (2019). Terapi Tobat pada Gangguan Psikosomatik. Eostatik : Jurnal Akhlak dan Tasawuf; vol. 05, no. 01 2019. hal 180-189

Karl Peltzer and Supa Pengpid, ‘The Prevalence and Social Determinants ofHypertension among Adults in Indonesia: A Cross-Sectional Population-BasedNational Survey’, International Journal of Hypertension, 2018 (2018), 1–9 <https://doi.org/10.1155/2018/5610725>.

Yulizar Darwis, Pedoman Pelayanan Kesehatan Jiwa Dasar Di Purkesmas(Jakarta: Departemen Kesehatan RI, Ditjen Bina Kesehatan Masyarakat Direktorat Kesehatan Jiwa Masyarakat, 2004).

Petrie JR, Guzik TJ, Touyz RM. Diabetes, Hypertension, and Cardiovascular Disease: Clinical Insights and Vascular Mechanisms. Can J Cardiol. 2018 May:575.

Tatayeva, R., Ossadchaya, E., Sarculova, S., Sembayeva, Z., & Koigeldinova, S. (2022). Psychosomatic Aspects of The Development of Comorbid Pathology: A Review. Medical Journal of the Islamic Republic of Iran, 36.

Davison, Geral C., Neale John.M., Kring, Ann. M. (2016). Abnormal Psychology. 9 Edition. Jonh Wiley & Sons.

Pomerantz, A. M. E., et al. (2019). Psikologi Klinis. (third ed.). Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

SP, R. A. (2018). Faktor-Faktor Penyebab Psikosomatis Pada Orang Dengan Kecenderungan Psikosomatis. Psikoborneo: Jurnal Ilmiah Psikologi, 6(3).